PERANG biasanya identik dengan kebencian, darah, dan
kematian. Tapi “Perang Topat” di Lombok, Nusa Tenggara Barat, justru
menjadi simbol persaudaran dan kebersamaan antar umat Islam dan Hindu
di sana.
Suara teriakan, sorak-sorai, memenuhi pelataran depan di Kompleks Pura
Lingsar, Lombok Barat, Sabtu sore (10/12). Ratusan orang tua-muda,
pria-wanita, dan bahkan anak-anak terbagi menjadi dua posisi. Sebagian
di halaman Pura Gaduh, tempat persembahyangan umat Hindu, dan sebagian
lagi di halaman depan bangunan Kemaliq, yang disakralkan sebagian
masyarakat muslim Sasak.
Setelah aba-aba perang dimulai, dua kelompok itu pun mulai saling
lempar. Suasana makin hiruk-pikuk, mereka berlarian menghindari
lemparan lawan, lalu megambil posisi untuk kembali melempar lawan.
Perang biasanya identik dengan kemarahan dan kekerasan berupa bentrok
fisik antara dua pihak yang bersengketa. Tapi perang topat di Lombok
yang melibatkan ratusan masyarakat berbeda agama ini, justru jauh dari
kesan seram dan penuh kebencian.
Sebaliknya, tradisi yang dilaksanakan turun temurun selama ratusan
tahun di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, itu justru
memperkokoh kerukunan antara umat Muslim dan umat Hindu di sana .
Perang dimulai sejak pukul 17.00 Wita, atau disebut rarak kembang waru
(Waktunya gugur daun pohon waru di sore hari). Masyarakat percaya
ketupat yang digunakan untuk saling lempar bisa membawa berkah.
Usai perang, mereka akan berebutan membawa pulang ketupat sisa perang,
untuk ditaburkan di sawah bagi para petani agar subur, bisa juga
ditaruh di tempat dagangan bagi para pedagang agar laris.
“Sejak leluhur, turun temurun selalu melaksanakan tradisi ini. Biasanya
habis panen raya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan juga
berharap agar musim tanam ini mendapat kesuburan. Ini juga mempererat
hubungan sosial dengan teman Hindu,” kata Sahyan (36), warga Desa
Lingsar yang juga sebagai pengurus di bangunan Kemaliq.
Setiap tahun masyarakat Desa Lingsar melaksanakan perang topat di
kompleks Pura Lingsar, sebuah Pura yang dibangun pada tahun 1759 pada
zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang
sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke 17 silam.
Pura Lingsar terletak sekitar 9 Km arah Timur dari Kota Mataram, dan
bisa dibilang bangunan Pura paling unik se-nusantara. Sebab, di dalam
kompleks Pura Lingsar terdapat dua bangunan besar yakni Pura Gaduh
sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, dan bangunan Kemaliq yang
disakralkan sebagian umat muslim Sasak dan masih digunakan untuk
upacara-upacara ritual adat hingga kini.
Dua bangunan itu dibangun dengan arsitektur Bali , berdiri berdampingan
tanpa jarak. Di depannya ada dua jabe atau pelataran halaman. Karena
keunikannya sejak 1990-an komplek Pura Lingsar ditetapkan sebagai benda
cagar budaya.
Masyarakat Desa Lingsar selalu menggelar ritual perang topat pada hari
ke 15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut
purnama sasih kepitu (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke
enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi kenem
(Purnama bulan keenam). Itu tepat pada malam bulan Purnama, yang tahun
ini jatuh pada hari Sabtu, 10 Desember 2011.
Pada malam Purnama itu, umat Hindu merayakan odalan atau ulang tahun
Pura Lingsar, dengan melaksanakan upacara Pujawali. Sedangkan umat
muslim melaksanakan napak tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir,
seorang penyiar agama Islam dari Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan
Islam di Lombok pada abad 15.
Sejak siang masyarakat mulai berdatangan ke kompleks Pura Lingsar. Di
Pura Gaduh, umat Hindu dipimpin pemangku Pura menyiapkan banten atau
sesaji untuk persembahyangan Pujawali, sedangkan di Kemaliq umat Muslim
Sasak dipimpin pengelola Kemaliq menyiapkan Kebon Odek (Bumi Kecil)
yang juga sesaji berupa buah-buahan dan hasil bumi.
Persiapan yang tak mungkin tertinggal, tentu saja topat atau ketupat,
nasi yang ditanak dengan bungkus anyaman janur kelapa sebesar tinju
orang dewasa. Topat-topat itu disiapkan warga dari masing-masing dusun
di Desa Lingsar, baik dusun yang berpenghuni umat Hindu maupun dusun
yang dihuni umat Muslim. Sesaji yang sudah siap kemudian diarak
mengelilingi bangunan Kemaliq dengan iring-iringan alat musik
tradisional.
Sementara proses iring-iringan berjalan, ribuan masyarakat setempat dan
pengunjung yang datang menunggu di halaman Kemaliq, menunggu topat
dibagikan dan siap saling lempar. Topat yang sudah melewati prosesi
kemudian dibagikan kepada masyarakat, sekejab perang pun dimulai, penuh
kegembiraan.
Tahun ini, selain pengujung lokal, banyak juga wisatawan domestik dan
mancanegara yang nampak datang ingin menyaksikan langsung perang topat
itu.
“Mungkin hanya di Lingsar ini bisa ditemukan pelaksanaan acara besar
umat Hindu dan umat Muslim, yang dilakukan pada waktu dan tempat
bersamaan. Meski pun versi kita beda,” kata Ketua Pengelola Kemaliq
Lingsar, Suparman Taufik.
Umat Hindu melakukan upacara Pujawali di Pura Gaduh untuk menghormati
Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung, dan Batara Lingsar, yang
merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan umat muslim
melakukan napak tilas mengenang jasa penyiar Islam, Raden Sumilir
yang dipercaya merupakan penyiar Islam dari Demak, pulau Jawa.
Tradisi perang topat yang sudah lima belas tahun terakhir menjadi event
pariwisata NTB, tahun ini dibuka secara seremonial oleh Bupati Lombok
Barat, Zaini Arony, dan Wakil Bupati H Mahrip, dengan melemparkan
topat pertama ke arah kerumunan masyarakat di halaman Kemaliq.
“Ini satu-satunya perang di dunia yang dilakukan tanpa kebencian,
perang tanpa korban jiwa, dan perang sebagai simbol persaudaraan dan
toleransi,” kata Bupati Zaini dalam sambutannya. Ia mengatakan, Lombok
Barat yang berpenghuni multietnis menjadi salah satu destinasi yang
nyaman dan penuh daya tarik bagi wisatawan.
“Seperti juga di India yang mayoritas Hindu ada Tajmahal peninggalan
Muslim, begitu juga di Indonesia yang mayoritas muslim ada Borobudur
dan candi-candi, tidak ada alasan tidak harmonis. Inilah kekayaan
budaya, the colours of culture,” katanya.
Usai perang topat, umat Hindu melaksanakan upacara Pujawali di Pura
Gaduh, biasanya disertai makemit atau menjalani perenungan dengan
menginap di Pura selama tiga malam. Hal yang sama dilakukan umat
Muslim Sasak di Kemaliq.
Selama tiga hari itu pula, di sekitar kompleks Pura Lingsar ramai
pedagang kaki lima , mulai menjakakan makanan hingga mainan anak-anak.
Pengunjungnya pun bukan hanya masyarakat yang melaksanakan ritual,
tetapi juga masyarakat umum dari Lombok Barat dan Kota Mataram yang
berekreasi bersama keluarganya ke sana .
Inti perang topat memang hanya berlangsung kurang dari satu jam. Namun
seluruh rangkaian prosesi ritualnya sudah berlangsung dua hari sebelum
perang topat, dan benar-benar menggambarkan toleransi beragama antara
umat Hindu dan Muslim di sana .
Sehari sebelum puncak perang topat, masyarakat Lingsar melaksanakan
prosesi Ngeliningan Kaok atau mengarak dua ekor Kerbau mengelilingi
kompleks Pura Lingsar. Kerbau itu masing-masing disediakan oleh
masyarakat umat Hindu dan umat Muslim, kemudian disembelih untuk
persembahan dan dagingnya diolah dan dimakan bersama-sama.
“Ini simbol toleransi. Bagi umat Hindu ternak Sapi itu suci, sedangkan
bagi umat Muslim haram memakan Babi, sehingga jalan tengahnya kita
gunakan Kerbau. Makanya di Pura Lingsar ini tidak boleh membawa
persembahan dari daging Sapi atau Babi.. hanya boleh unggas atau
Kerbau. Kalau dilanggar pemaliq (Akan berdampak buruk),” kata Ketua
Pengelola Kemaliq Lingsar, Suparman Taufik.
Menurut Taufik, makna seluruh prosesi perang topat adalah pengungkapan
rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rejeki yang diberikan
sepanjang tahun. Hal ini tak lepas dari keberadaan mata air Langser
yang terletak di samping kompleks Pura Lingsar.
Secara turun-temurun, masyarakat Lingsar percaya mata air itu berasal
dari bekas tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyiar Islam di Lombok
abad ke 15. Hingga kini mata air Langser (Langser merupakan asal nama
Lingsar), mampu mengairi pertanian bukan hanya di Lingsar saja tetapi
juga hingga ke sebagian wilayah Lombok Tengah. Petani di Lingsar
bahkan bisa menanam dan menanen padi hingga tiga musim dalam setahun.
Tradisi Perang Topat yang menjadi event pariwisata daerah selalu
menjadi perhatian wisatawan domestik dan mancanegara dari tahun ke
tahun. Tahun ini Dinas Pariwisata Lombok Barat mencatat sedikitnya
jumlah pengunjung mencapai 25 ribu orang dalam event perang topat tahun
ini. Bukan hanya karena menjadi tontonan budaya yang menarik, tetapi
juga pesan keberagaman di dalamnya yang membuat event ini unik.
“Hal yang lebih penting selain keindahan budaya dalam perang topat ini,
bahwa sejak dulu para leluhur kita sudah mengajari kita bagaimana
saling menghargai dan menjaga toleransi beragama,” kata Bupati Lombok
Barat, Zaini Arony.***